
Polisi Prancis/net
RIAU1.COM - Otoritas Prancis menangkap 55 pria dalam operasi besar-besaran untuk membongkar jaringan pedofil yang beroperasi melalui aplikasi perpesanan Telegram.
Penangkapan dilakukan antara sejak awak pekan ini di 42 departemen administratif di seluruh Prancis, menyusul penyelidikan selama 10 bulan oleh OFMIN, lembaga nasional yang menangani kekerasan terhadap anak di bawah umur.
"Sepuluh bulan kerja penyamaran yang melibatkan ribuan pertukaran, analisis, dan pendeteksian gambar pedofil. Butuh waktu 10 bulan penyelidikan untuk melacak para pelaku kekerasan terhadap anak ini," jelas Kepala unit operasional OFMIN Quentin Bevan, seperti dikutip Rmol dari AFP pada Jumat, 23 Mei 2025.
Para tersangka, yang berusia antara 25 hingga 75 tahun bahkan berprofesi sebagai seorang pendeta, seorang paramedis, dan seorang guru musik. Mereka diduga terlibat dalam kepemilikan, distribusi, dan konsumsi rutin pornografi anak, bahkan pada anak-anak "di bawah usia 10 tahun.
Beberapa dari para pelaku diketahui memiliki hubungan langsung dengan anak-anak, sebagai orang tua, kakek, atau melalui pekerjaan mereka.
Penyelidik menyebut beberapa tersangka secara terbuka membanggakan diri atas kekerasan seksual yang mereka lakukan terhadap anak-anak saat mereka tidur, meskipun kini mereka membantah telah melakukan kejahatan.
Salah satu tersangka bahkan tidak mampu menjelaskan alasan dirinya membelikan thong untuk seorang anak perempuan berusia delapan tahun, meskipun ia menyangkal melakukan pelecehan.
Telegram, platform yang digunakan para pelaku untuk saling bertukar materi terlarang dan menjalin koneksi, kembali menjadi sorotan.
Pendiri Telegram, Pavel Durov, sebelumnya ditangkap di Paris pada tahun 2024 atas tuduhan gagal menghapus konten ilegal dari platformnya. Ia kini berada di bawah pengawasan yudisial dan tidak diizinkan meninggalkan Prancis tanpa izin resmi.
Meski pihak Telegram telah menunjukkan tanda-tanda kerja sama, Bevan menilai respons tersebut masih sangat kurang.
"Telegram tetap menjadi 'sarang pedofil' dan platform pilihan para pelaku pelecehan anak," tegasnya.
Sebagai tanggapan, Durov menyatakan di media sosial bahwa tuduhan terhadap Telegram adalah bentuk manipulasi.
“Menyiratkan secara keliru bahwa Telegram tidak melakukan apa pun untuk menghapus pornografi anak adalah taktik manipulasi,” tulisnya di X awal minggu ini.
Namun demikian, para investigator tetap menyuarakan kekhawatiran mereka. Durov juga dikonfrontasi dengan berbagai tuduhan lain terkait konten ekstremis dan teroris di platformnya, termasuk perdagangan narkoba, penipuan, dan bahkan perekrutan pembunuh bayaran.
Sebelumnya, pada Juni 2024, Prancis menutup situs dewasa Coco setelah ditemukan menjadi tempat berbagai kejahatan seksual, termasuk pedofilia. Investigasi menyebutkan bahwa setelah penutupan Coco, sejumlah pelaku kejahatan seksual pindah ke Telegram sebagai tempat baru untuk beroperasi.
Kini, para tersangka yang ditangkap menghadapi tuduhan serius, termasuk perdagangan manusia, dan jika terbukti bersalah, mereka dapat dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.*