Wajah DPR Kini yang Diisi Para Artis: Antara Representasi Publik dan Krisis Kualitas Legislasi

FX. Hastowo Broto Laksito, S.H, M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi, Surakarta
RIAU1.COM - Fenomena artis masuk ke dunia politik bukanlah hal baru di Indonesia. Namun, dalam beberapa periode terakhir, jumlah artis yang menduduki kursi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) semakin banyak dan menimbulkan perdebatan.
Ada yang menilai hal ini sebagai bentuk demokratisasi, di mana siapa pun, termasuk artis, memiliki hak konstitusional untuk dipilih dan memilih. Namun, tidak sedikit pula yang melihatnya sebagai potret krisis kualitas politik dan lemahnya rekrutmen partai, sehingga kursi parlemen lebih diisi oleh popularitas ketimbang kapasitas.
Dari perspektif hukum tata negara, keberadaan artis di DPR sepenuhnya sah dan dijamin konstitusi. Pasal 22E UUD 1945 memberikan hak yang sama kepada seluruh warga negara untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada pembatasan profesi atau latar belakang pendidikan bagi calon legislatif.
Dengan demikian, artis yang lolos ke DPR memiliki legitimasi yang sama dengan politisi dari kalangan akademisi, aktivis, maupun pengusaha. Masalahnya bukan pada legalitas, melainkan pada efektivitas.
DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Fungsi legislasi khususnya menuntut kapasitas intelektual, kemampuan analisis hukum, serta kecakapan bernegosiasi dalam pembahasan undang-undang.
Pertanyaan kritis yang muncul adalah sejauh mana artis yang terpilih mampu memenuhi fungsi tersebut? Jika mayoritas hanya mengandalkan popularitas tanpa kualitas, maka legislasi akan terjebak dalam kompromi politik dangkal dan kehilangan kedalaman substansi hukum.
Fenomena ini juga memperlihatkan lemahnya sistem kaderisasi partai politik. Alih-alih menyiapkan kader dengan kapasitas kebijakan publik, banyak partai lebih memilih artis karena daya tarik elektoralnya yang instan.
Strategi ini memang menguntungkan secara jangka pendek, tetapi berbahaya bagi kualitas demokrasi. Pada akhirnya, DPR yang seharusnya menjadi lembaga negara dengan otoritas tinggi dalam membuat hukum, berubah menjadi panggung politik populer tanpa arah substantif.
Namun, kehadiran artis di DPR tidak selamanya buruk. Beberapa artis justru berhasil membuktikan diri dengan bekerja serius, belajar cepat, dan memperjuangkan isu-isu yang dekat dengan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan bukan semata latar belakang profesi, melainkan sejauh mana komitmen dan kapasitas individu.
Demokrasi sejati memang memberi ruang kepada siapa saja, tetapi yang diuji kemudian adalah tanggung jawab terhadap amanah rakyat.
Wajah DPR kini yang diisi banyak artis mencerminkan paradoks demokrasi Indonesia. Di satu sisi, telah menunjukkan keterbukaan politik yang inklusif.
Di sisi lain, juga menyingkap krisis kualitas dalam rekrutmen politik yang berimplikasi pada mutu legislasi. Hukum tata negara menjamin hak artis untuk duduk di parlemen, tetapi publik juga berhak menuntut agar mereka bekerja profesional.
Jika tidak, DPR hanya akan menjadi panggung popularitas baru, sementara fungsi legislasi dan pengawasan yang vital akan terabaikan.
Oleh:
FX. Hastowo Broto Laksito, S.H, M.H
Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi, Surakarta