
Kawasan di Pulau Galang yang disiapkan tampung warga Gaza
RIAU1.COM - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan, tindakan kekerasan dan brutalitas Israel terhadap warga Gaza yang masih tersisa terus dilakukan.
Israel sudah menutup mata, telinga, hati dan akal serta terus menghancurkan Gaza, melakukan genosida antara lain dengan melaparkan warga Gaza sebagai cara membunuh mereka.
Sudarnoto mengatakan, korban fisik yang terluka dan tentu yang meninggal semakin meningkat di Gaza, Palestina. Di samping itu politik blokade selama ini juga telah semakin menyengsarakan warga Gaza. "Sementara itu penanganan dan pelayanan terhadap mereka yang terluka parah sangat terbatas," kata Sudarnoto kepada Republika, Jumat (8/8/2025).
Ia menambahkan, okupansi rumah sakit (RS) sudah sangat darurat di luar rasio. Ini semua karena penghancuran secara masif termasuk terhadap infrastruktur di Gaza termasuk RS.
MUI menegaskan, karena itu memang diperlukan langkah atau aksi darurat untuk misi menangani malapetaka kemanusiaan di Gaza. Misi darurat ini antara lain menolong dan menyelamatkan warga Gaza yang benar-benar mendesak membutuhkan penangan medis di luar Gaza.
"Hemat saya, misi ini bersesuaian dengan prinsip-prinsip membela kedaulatan dan hak hidup setiap orang sekaligus menjadi cara atau langkah melaksanakan ajaran agama khususnya Islam," jelas dia.
Sudarnoto mengatakan, prinsip hifdzun nafsi (melindungi jiwa) tertunaikan dengan misi darurat kemanusiaan ini. Tentu juga sejalan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, salah satu sila dari lima sila.
"Sehubungan dengan itu, saya mendukung langkah pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah darurat ini dengan menyediakan pulau Galang sebagai tempat atau pusat penampungan korban kekejaman Israel untuk diobati dan disembuhkan," ujar Sudarnoto.
Karena itu, Sudarnoto mengatakan, memang harus dipersiapkan dengan sempurna RS dan tempat penampungan para korban dan keluarga korban di wilayah pulau Galang ini. Pemerintah Yordania sudah melakukan hal yang sama. Karena itu, Indonesia bisa menimba pengalaman Yordania, meskipun jumlah yang akan ditangani yaitu 2.000 orang pasien dan keluarga pendamping pasien mungkin lebih besar dari Yordania.
Sudarnoto menegaskan, hal lain yang penting untuk menjadi perhatian, pentingnya komunikasi yang baik dengan masyarakat terutama dengan elemen masyarakat, tokoh dan aktivis pembela Palestina. Sehingga program ini bukanlah pemindahan dan relokasi warga Gaza ke Indonesia yang beberapa waktu yang lalu sempat menjadi topik kontroversial.
"Komunikasi ini penting sehingga ada langkah penting yang memang menjadi concern bersama, ini juga untuk menjaga agar engagement pemerintah dengan masyarakat semakin kuat terutama untuk membela Palestina ini," jelasnya.*