Penyuluh Direktorat Jenderal Pajak Rian Hamdani. Foto: Istimewa.
RIAU1.COM -Bencana alam tidak hanya menyisakan duka dan kerusakan infrastruktur, tetapi juga melumpuhkan aktivitas ekonomi serta administratif masyarakat yang terdampak. Menanggapi serangkaian bencana hidrometeorologi dan geologi yang melanda wilayah ujung barat Indonesia, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menetapkan kebijakan khusus.
Langkah ini diambil sebagai bentuk empati dan solusi nyata. Agar, warga terdampak tidak terbebani oleh urusan administratif perpajakan di tengah masa pemulihan.
Melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-251/PJ/2025, pemerintah menetapkan status keadaan kahar (force majeure) untuk wilayah Provinsi Aceh, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Sumatera Barat. Kebijakan ini bukan sekadar formalitas hukum, melainkan payung perlindungan bagi Wajib Pajak agar terhindar dari sanksi denda akibat keterlambatan yang disebabkan oleh bencana.
Negara Hadir di Tengah Bencana
Penetapan kebijakan ini didasari oleh laporan darurat dari masing-masing kepala daerah. Di Aceh, status tanggap darurat berlaku sejak 28 November hingga 11 Desember 2025 akibat banjir dan tanah longsor.
Sementara itu, Sumatera Utara menghadapi kombinasi banjir, longsor, hingga gempa bumi dengan masa tanggap darurat hingga 10 Desember 2025. Tak ketinggalan, Sumatera Barat juga berstatus darurat hingga 8 Desember 2025 akibat banjir bandang dan angin kencang.
Melihat kondisi tersebut, Direktorat Jenderal Pajak, memandang bahwa pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan warga pasti terhambat. Sangat tidak adil jika masyarakat yang sedang berjuang menyelamatkan diri dan harta bendanya masih harus memikirkan denda keterlambatan pelaporan pajak.
Lalu, apa saja kemudahan yang diberikan? Wajib Pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di tiga provinsi tersebut mendapatkan penghapusan sanksi administrasi untuk beberapa poin krusial.
Pertama, penyampaian SPT Masa danTahunan. Untuk laporan yang jatuh tempo antara 30 November hingga 31 Desember 2025.
Kedua, pembayaran pajak. Penyetoran pajak atau utang pajak yang jatuh tempo pada 25 November hingga 31 Desember 2025.
Ketiga, Faktur Pajak. Pembuatan Faktur Pajak untuk masa pajak November dan Desember 2025 bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Seluruh kewajiban di atas diberikan perpanjangan waktu. Masyarakat diberikan kelonggaran untuk menyelesaikan kewajibannya paling lambat pada 30 Januari 2026. Artinya, selama dilakukan sebelum tanggal tersebut, denda dan bunga yang biasanya menghantui keterlambatan akan dianggap tidak ada.
Tak hanya soal lapor dan bayar, pemerintah juga memperpanjang batas waktu bagi mereka yang sedang menempuh jalur hukum misalnya keberatan atau permohonan administratif tertentu. Jika batas waktu pengajuan keberatan, permohonan pengurangan sanksi, atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar berakhir di penghujung tahun 2025, maka otomatis diperpanjang hingga 30 Januari 2026.
Hal ini juga mencakup Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Warga yang ingin mengajukan pengurangan PBB atau keberatan atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang tidak benar mendapatkan hak perpanjangan waktu yang sama. Ini adalah angin segar bagi para pemilik lahan atau bangunan pada sektor perkebunan, perhutanan, pertambangan dan sektor lainnya yang rusak akibat bencana.
Mekanisme Otomatis dan Jabatan
Satu hal yang menarik dari KEP-251/PJ/2025 adalah semangat birokrasi yang memudahkan. DJP berkomitmen untuk tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atas keterlambatan tersebut.
Selain itu, keterlambatan ini dipastikan tidak akan merusak "raport" Wajib Pajak. Bagi mereka yang telah menyandang status Wajib Pajak Kriteria Tertentu (WP Patuh), keterlambatan selama masa bencana ini tidak akan menjadi dasar pencabutan status tersebut.
Langkah cepat DJP melalui keputusan ini patut diapresiasi sebagai bentuk responsivitas negara terhadap kondisi luar biasa. Dengan diberikannya napas lega hingga akhir Januari 2026, diharapkan masyarakat di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dapat lebih fokus pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.
Pajak memang tulang punggung pembangunan, namun kemanusiaan tetaplah prioritas utama. Kebijakan ini membuktikan bahwa sistem administrasi perpajakan kita mampu beradaptasi dengan realitas di lapangan, memastikan bahwa keadilan tetap tegak bahkan di saat alam sedang tidak bersahabat.
Perlu dipahami bahwa pemberian relaksasi ini bukanlah sebuah kebijakan spontan tanpa dasar, melainkan manifestasi dari amanah undang-undang yang telah mapan. Pemerintah secara konsisten menjalankan prosedur ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Selain itu, mekanisme penghapusan sanksi ini juga diperkuat secara teknis melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Dengan payung hukum yang kuat tersebut, negara memastikan bahwa fleksibilitas administrasi dalam kondisi darurat tetap berjalan dalam koridor kepastian hukum, sehingga memberikan rasa aman bagi Wajib Pajak di tengah situasi yang sulit.
Penulis: Penyuluh Direktorat Jenderal Pajak Rian Hamdani